Eksotisme Maluku Utara dan Halmahera, Tidak Ada Duanya (5)

Akhirnya dua tenda yang didirikan pun tampak kosong. Saya sendiri memilih tidur tanpa tenda dan hanya menggunakan kantung tidur dengan alas matras di hutan pos lima Kie Matubu ini. Karena cukup lelah, saya pun tidur nyenyak sampai akhirnya dibangunkan oleh alarm pada jam 5 pagi.

Senin 3 Juni (day 4), #semuaadatiketnya.

Jam lima pagi kami semua sudah bangun dan melanjutkan perjalanan ke puncak. Tidak terlalu lama memang, karena satu jam kemudian kami sudah berada di kawasan puncak Kie Matubu bersamaan dengan terbitnya matahari pagi. Cuaca sangat cerah dan kami pun berhasil mendokumentasikan semua pemandangan (360 derajat) dari sekeliling puncak Kie Matubu.

Lansekap more, mati, makian di selatan dan jajaran halmahera volcanic arc sisi utaranya pun bisa kami dokumentasikan dengan baik. Gamalama, Gamkonora, Tobaru, Dukono tampak jelas di puncak Kie Matubu pagi hari itu. Saya juga sempat melihat kepulan asap dari Gunung Dukono yang memang sedang mengalami aktivitas vulkanik cukup tinggi di puncak Kie Matubu ini.

Selesai dokumentasi, kami semua turun kembali ke camp dan selepas makan siang tim turun kembali menuju Desa Gurabunga. Dalam perjalanan turun, kami bertemu dua orang expatriat (Jonathan dan Christine) yang awalnya saya kira adalah turis asing yang sedang wisata di Indonesia.

Karena melihat perbekalan logistik mereka yang sangat minim, saya pun meminta babon untuk menyiapkan roti selai kacang untuk dua bule ini. Setelah ngobrol ternyata bule ini fasih berbahasa Indonesia dan keduanya tinggal di Jakarta.

Awalnya saya tidak terlalu surprise, sampai obrolan kami menyinggung masalah "disaster mitigation", ternyata Jonathan adalah tim Geoscientist Australia yang diperbantukan dalam progam Aus-AID di Indonesia bekerja sama dengan Bnpb, Lipi dan Badan Geologi. Seperti bertemu rekan kerja akhirnya obrolan kami pun langsung cair dan tidak lagi canggung seperti awalnya.

Sore hari kami akhirnya tiba kembali di Desa Gurabunga dan langsung mencarter angkutan menuju pelabuhan Tidore. Dua jam kemudian tiba di pelabuhan Tidore dan kami pun langsung menyeberang kembali ke Ternate untuk regroup dengan satu orang wanita anggota tim yang baru tiba di hari ketiga ekspedisi ini.

Sekitar pukul tujuh malam akhirnya kami tiba di basecamp ESA dan beristirahat. Mba yanti pun akhirnya bisa bergabung dengan tim utama malam ini (setelah seharian berkeliling Ternate dengan avanza hitam yang setia mengantar kemanapun kami mau).

Setelah basa basi, saya ajak mba yanti untuk kembali menikmati wisata kuliner nasi bambu dan ikan bakar di Pantai Swering, sayang karena sudah kemalaman nasi bambunya kehabisan. Lalu akhirnya menu wisata kulinernya diganti dengan ikan bobara bakar. Setelah terlihat kekenyangan dan kecapean, kami antar mba yanti menuju penginapan untuk beristirahat disana sedangkan saya dan pak dadi kembali ke sekre ESA untuk briefing lanjutan.

Hampir tengah malam briefing tim masih belum mencapai kata sepakat. Akhirnya Pak Dadi pamit untuk beristirahat. Selepas jam satu malam pun saya belum bisa mengambil keputusan apakah Gunung Gamkonora, Gunung Kie Besi (Pulau Makian) atau Gunung Dukono yang akan menjadi target ekspedisi kami.

Sebenarnya sampai jam sepuluh malam saya sudah memutuskan Gamkonora sebagai target esok hari, tetapi kabar terbaru yang saya update disana adalah status siaga III gunung apinya (terutama di kalderanya) cukup beresiko untuk didaki. Tidak banyak orang tau jika Gunung Gamkonora adalah satu dari lima gunung di Indonesia yang memiliki karakter letusan sangat dahsyat (VEI: 5) selain Tambora, Krakatau, Galunggung dan Raung.

Komentar

Postingan Populer