Viral di Medsos, Wanita Ini Menstruasinya Mundur 11 Hari Usai Vaksin Corona
Sejumlah wanita mengeluhkan perubahan siklus menstruasi setelah vaksinasi COVID-19. Beberapanya mengeluhkan menstruasi lebih berat dengan durasi yang lebih lama, serta kram perut yang lebih hebat.
Salah satunya Devina Yo, seorang wanita berusia 26 tahun. Di media sosial, ia mengisahkan perubahan menstruasinya pasca vaksinasi COVID-19. Ia menerima vaksin dosis 1 pada 29 April dan dosis 2 pada 27 Mei 2021.
Devina rajin mencatat tanggal menstruasi menggunakan aplikasi di smartphone. Setelah divaksin, ia menyadari menstruasinya datang terlambat 11 hari disertai kram perut yang lebih hebat dibanding menstruasi sebelum divaksin.
"Aku awalnya juga tidak yakin, karena memang menstruasi dipengaruhi berbagai faktor. Tapi setelah aku pelajari, tidak ada faktor lain yang mungkin jadi pengaruh karena sedang tidak stress, capek berlebih, ataupun mengalami perubahan berat badan yang signifikan. Biasanya aku cuma terlambat 3-5 hari, tidak lebih dari itu," terangnya pada detikcom, Senin (21/6/2021).
Devina berharap, hal ini bisa dikaji dalam pencatatan untuk memastikan ada-tidaknya perubahan siklus menstruasi pasca vaksinasi COVID-19. Mengingat, besar kemungkinan para wanita tidak menyadari perubahan menstruasinya sehingga hal ini tidak dilaporkan sebagai KIPI. Selain itu menurutnya, sosialisasi penting agar masyarakat tak justru jadi ketakutan soal efek vaksin.
"Ini kurasa penting karena kemarin malah ada yang berusaha menggiring pengalamanku menjadi bagian narasi antivaksin (bisa berpengaruh pada kesuburan wanita). Kalau tidak diinformasikan dengan baik, malah bisa menambah keraguan orang untuk vaksin," katanya.
Hingga kini, perubahan siklus menstruasi tidak tercatat dalam potensi efek samping vaksin COVID-19, sehingga tidak bisa dipastikan bahwa perubahan siklus menstruasi ini disebabkan vaksinasi.
Dihubungi detikcom, Ketua Komnas KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Prof Hindra Irawan Satari menyebut, perubahan siklus menstruasi sebagai efek vaksin COVID-19 memang tidak ditemukan dalam uji klinik fase I, fase II, fase III, dan laporan yang masuk di Indonesia.
Bagi yang mengalami keluhan serupa, Prof Hindra menyarankan untuk periksa ke dokter kandungan. Ada banyak kemungkinan penyebab, namun sejauh ini belum ada data yang mengaitkannya dengan efek vaksin Corona.
"Tercatat sebagai KIPI namun tidak terkait dengan vaksinasi, di laporannya nggak ada, kalau ada laporan KIPI itu kan harus terkait data. Harus ada alurnya, harus ada benang merahnya, nggak bisa tiba-tiba misalnya gara-gara vaksin," kata Prof Hindra.
https://trimay98.com/movies/cat-people-2/
Pasien Corona Anak Juga Rentan Kena Long COVID, Bagaimana Mencegahnya?
Studi terbaru menemukan bahwa sebanyak 1 dari 4 pasien COVID-19 berakhir dengan long COVID. Para ahli juga mempelajari seberapa jauh COVID-19 memengaruhi anak-anak dan remaja.
Salah satu tantangan dalam mendiagnosis long COVID adalah banyak orang, terutama anak, yang tertular virus tetapi tak pernah dites.
Seperti COVID-19 itu sendiri, long COVID adalah kondisi baru dengan banyak hal yang tidak diketahui yang menimbulkan tantangan tersendiri tak hanya bagi pasien, tapi juga para tenaga kesehatan.
"Kami mulai memperhatikan anak-anak yang memiliki gejala long COVID, dan tidak ada banyak data atau sumber daya untuk membantu anak-anak ini," kata Dr. Daniel B. Blatt, spesialis penyakit menular pediatrik dari Norton Children's Pediatric COVID-19 Follow-Up Clinic, Kentucky, Amerika Serikat, kepada Healthline.
Diagnosis long COVID
Sebelum Blatt memberi seorang anak diagnosis long COVID, ia memeriksa penyebab potensial atau kemungkinan terkena penyakit lain dari gejala mereka.
Long COVID menyebabkan gejala umum, yang berarti mirip dengan kondisi lain. Misalnya, kelelahan dan sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai infeksi.
"Satu hal yang sangat kami kuasai sebagai dokter penyakit menular adalah mencari tahu apakah itu long COVID atau infeksi lain yang terlihat seperti long COVID," kata Blatt.
Komentar
Posting Komentar