Kemenkes Sebut Biaya Perawatan Pasien COVID-19 Mahal, Memangnya Berapa?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap mahalnya perawatan pasien COVID-19. Tak tanggung-tanggung, biaya perawatan satu pasien COVID-19 disebut bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kemenkes dr H Mohamad Subuh, MPPM, mengatakan mahalnya biaya ini bergantung pada kebutuhan, keinginan, dan permintaan yang diperlukan dalam pengobatan pasien COVID-19 selama masa perawatan.
"Misalnya, biaya 184 (juta), 250 juta, itu apakah cukup? Belum tentu cukup. Ada yang dirawat satu bulan, itu dengan perincian dirawat 2-3 minggu, sementara ada yang (dirawat) sampai 2 bulan. Bisa 2-3 kali lipat," ujar dr Subuh dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 di YouTube, Selasa (1/12/2020).
Jadi berapa biaya yang dibutuhkan untuk perawatan pasien COVID-19?
dr Subuh mengatakan, apabila pasien tersebut tak mengalami gejala COVID-19 dan hanya memerlukan isolasi mandiri, maka biaya perawatannya pun akan menjadi lebih murah. "Tetapi, kalau dia dengan gejala kemudian memerlukan perawatan mungkin lebih mahal," ucapnya.
"Kalau dia memerlukan suatu perawatan khusus ICU, itu satu hari ICU 15 juta. Jadi bayangkan saja 1 hari 15 juta, kalau dia dirawat 7 hari sudah ratusan juta, sepuluh hari sudah 150 juta. Apalagi menggunakan ventilator," kata dr Subuh.
Lebih lanjut, dr Subuh menjelaskan, biaya perawatan ini akan menjadi lebih mahal lagi apabila pasien COVID-19 juga memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
"Terus kemudian dia positif, tapi dengan komorbid. Misalnya, sakit jantung, diabetes melitus, kemudian hipertensi atau gangguan paru itu bisa tambah lagi per harinya sekitar rata-rata 2 juta, yang tadinya 15 juta jadi 17 juta," jelasnya.
Meski semua biaya ini ditanggung oleh pemerintah, dr Subuh mengatakan bahwa negara tetap memiliki batasan. "Jadi bagaimana kita mengelola resource yang benar-benar ada ini, kita optimalkan. Tidak terlalu sakit kita nantinya, (apabila) dengan cara-cara upaya pencegahan," tuturnya.
https://tendabiru21.net/movies/first-love/
Dokumen Rahasia Bocor, Ungkap Kesalahan China di Awal Wabah Corona
Sebuah laporan dokumen bertanda 'dokumen internal, harap tetap rahasia' milik China terungkap. Hal ini berkaitan dengan data penanganan dan kasus COVID-19 di China.
Dalam dokumen tersebut, China mencatat 5.918 kasus baru COVID-19 yang terdeteksi pada 10 Februari. Rupanya, angka ini dua kali lipat lebih tinggi dari yang dikaporkan pada tanggal tersebut.
Dikutip dari CNN, angka COVID-19 yang lebih besar di China ini tak pernah terungkap karena pemerintah di sana cenderung meremehkan keparahan wabah COVID-19, kala menghadapi kekacauan di minggu-minggu awal pandemi.
Angka yang dirahasiakan sebelumnya tercantum di antara serangkaian pengungkapan penanganan COVID-19 lainnya dalam dokumen dengan 117 halaman, yang bocor dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Provinsi Hubei, dibagikan dan diverifikasi oleh CNN.
Secara keseluruhan, dokumen tersebut merupakan kebocoran paling signifikan dari China sejak awal pandemi, dan memberikan beberapa kesimpulan yang jelas tentang apa yang diketahui secara internal oleh otoritas lokal terkait pandemi COVID-19.
Salah satu poin yang paling menonjol dalam data tersebut adalah keterlambatan penanganan pandemi COVID-19 di awal wabah. Meski pihak berwenang Hubei, China, menjelaskan kasus COVID-19 di awal wabah secara efisien dan transparan, dokumen tersebut menunjukkan bahwa pejabat kesehatan lokal mengandalkan mekanisme pengujian dan pelaporan yang cacat.
Sebuah laporan dalam dokumen dari awal Maret mengatakan waktu rata-rata antara timbulnya gejala hingga diagnosis yang dikonfirmasi COVID-19 adalah 23,3 hari, yang menurut para ahli kepada CNN akan secara signifikan menghambat langkah-langkah untuk memantau dan memerangi COVID-19.
Klaim China beberapa waktu lalu yang bersikeras menyampaikan transparansi terkait wabah COVID-19 langsung terbantah dengan adanya kebocoran dokumen tersebut.
"Jelas mereka melakukan kesalahan dan bukan hanya kesalahan yang terjadi ketika Anda berurusan dengan virus baru juga kesalahan birokrasi dan bermotif politik dalam cara mereka menanganinya," kata Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk global kesehatan di Council on Foreign Relations, yang telah banyak menulis tentang kesehatan masyarakat di China.
Terungkapnya dokumen tersebut bertepatan dengan desakan Amerika Serikat dan Uni Eropa kepada China untuk benar-benar mencari tahu asal-usul COVID-19. Sejauh ini, WHO menegaskan telah diberi jaminan penuh oleh China untuk mendapat akses terkait investigasi asal COVID-19.
Namun, beberapa waktu lalu, akses para ahli internasional soal catatan medial RS dan data kasus di Hubei, China, telah dibatasi. Dokumen-dokumen ini diserahkan kepada CNN oleh pelapor yang tak disebutkan namanya, mereka mengaku hanya ingin mengungkap kebenaran yang selama ini telah ditutupi.
Komentar
Posting Komentar