Herbal untuk Obat Virus Corona, Mitos atau Fakta?
Pandemi virus corona dan efeknya telah dirasakan selama beberapa bulan. Seiring waktu berbagai upaya diklaim dapat menyembuhkan COVID-19, salah satunya konsumsi herbal.
Dikutip dari BBC, klaim herbal untuk obat virus corona sempat dikatakan Perdana Menteri India Narendra Modi. Pemimpin India ini menggunakan strategi tersebut untuk melawan virus corona.
Modi mengatakan, masyarakat harus mengikuti panduan resmi penggunaan kombinasi herbal kadha. Paduan herbal ini dikatakan mampu meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas.
Efek inilah yang menjadikan kadha sebagai salah satu herbal untuk obat virus corona. Kementerian Ayurveda, Yoga & Naturopathy, Unani, Siddha and Homoeopathy (AYUSH) India juga mempromosikan beberapa praktik medis khas India.
Penggunaan herbal untuk obat virus corona mendapat tanggapan dari immunologis Akiko Iwasaki. Menurut ahli dari Yale University ini, banyak klaim yang masih perlu dicek kebenarannya.
"Masalahnya adalah banyak klaim yang tidak punya dasar. Misal klaim yang mengatakan suplemen tertentu dapat meningkatkan imun tubuh," kata imunologis Akiko Iwasaki dari Yale University.
Klaim herbal untuk obat virus corona juga sempat terdengar di China, yang berasal dari kebiasaan minum teh. Klaim beredar lewat media sosial merujuk pada dokter Li Wenliang, tenaga kesehatan yang memperingatkan adanya virus corona di Wuhan.
Dalam klaim tersebut dikatakan, dokter Li telah mendokumentasikan bukti sebuah kandungan dalam teh. Komponen methylxanthines yang umum ditemukan dalam teh dikatakan mampu menurunkan efek virus corona.
Methylxanthines memang sering ditemukan dalam teh, kopi, dan coklat. Namun efek methylxanthines terkait obat herbal untuk virus corona masih harus diteliti lebih lanjut.
Dikutip dari artikel Dietary Therapy and Herbal Medicine for COVID-19 Prevention: A Review and Perspective, beberapa herbal memang memiliki efek anti virus dan immunomudulator. Misal ginseng, jamur lingzi, Korean Angelica, hingga lidah buaya.
Namun artikel yang terbit dalam Journal of Traditional and Complementary Medicine tersebut menjelaskan, butuh riset lebih lanjut hingga menjadi herbal untuk obat virus corona. Meski begitu bukan berarti herbal tidak bermanfaat untuk kehidupan manusia.
Artikel yang ditulis Suraphan Panyod dkk tersebut menjelaskan, herbal bisa menjadi terapi pelengkap untuk mencegah infeksi COVID-19. Kandungan dalam herbal akan membantu tubuh tetap sehat dan memiliki sistem imun yang baik.
https://cinemamovie28.com/movies/last-hero-in-china/
Konsep OTG Belum Banyak Dipahami Masyarakat, Perlu Sosialisasi
Konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) dalam penularan COVID-19 ternyata masih belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal tersebut tercermin dari survei yang dilakukan oleh Nielsen dan UNICEF pada Agustus lalu.
Survei dilakukan di 6 kota besar, Jakarta, Makassar, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Medan dengan melibatkan sekitar 2.000 responden. Dari 2.000 responden yang disurvei, hanya 31,5% yang sudah mengimplementasikan perilaku pencegahan 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak).
"Ini artinya, baru sepertiga dari responden survei yang melakukan protokol kesehatan secara lengkap," ujar Konsultan UNICEF Risang Rimbatmaja dalam keterangan tertulis, Jumat (6/11/2020).
"Kalau kita bicara status sosial ekonomi, hasil survei mengatakan justru lower 1 dan 2 paling banyak yang melakukan 3 perilaku sekaligus (3M). Dari sisi usia, yang muda-muda kurang disiplin. Yang agak senior 50-54 tahun paling disiplin, ada perbedaan di rentang usia," imbuhnya dalam diskusi 'Keterlibatan Masyarakat dalam Respon Pandemi COVID-19' beberapa waktu lalu.
Jika dirinci, kata Risang, prilaku mencuci tangan menjadi yang paling banyak dilakukan responden dengan jumlah 71,25%, lalu diikuti dengan memakai masker 70,8%, dan yang paling rendah adalah menjaga jarak 46,8%.
Dia mengemukakan hasil tersebut menunjukkan masyarakat masih melakukan 3M secara parsial dengan perilaku yang paling banyak dilakukan adalah mencuci tangan dan memakai masker. Khusus untuk jaga jarak, Risang mengatakan ada aspek norma sosial dan mispersepsi yang melatarbelakangi rendahnya implementasi protokol ini.
"Misalnya orang lain yang mendekat bukan saya. Semua juga tidak jaga jarak kenapa saya harus jaga jarak. Nomor duanya adalah mispersepsi, saya sehat, tidak ada virus, ngapain kita jaga jarak. Konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) itu belum betul-betul masuk di benak orang," tekannya.
Komentar
Posting Komentar