Pasien COVID-19 dengan Happy Hypoxia Tampak Normal, Bagaimana Mengenalinya?

Batuk, sesak napas, demam, hingga kehilangan indera penciuman dan perasa merupakan sejumlah gejala yang yang bisa terlihat pada seseorang yang terinfeksi virus Corona atau COVID-19. Namun pakar Penyakit Dalam Spesialis Paru-Paru (Internis Pulmonologist) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) dr Sumardi, SpPD,KP, FINASIM., menyebut pasien Corona dengan gejala happy hypoxia syndrome tampak normal.
"Pada orang yang mengalami happy hypoxia ini tampak normal atau biasa-biasa saja. Karenanya sering dinamakan silent hypoxia sebab terjadi perlahan dan lama-lama lemas dan tidak sadar," ujar Sumardi dalam keterangan tertulis yang dikirim humas UGM kepada wartawan, Rabu (2/9/2020).

Sumardi menjelaskan, kadar oksigen normal dalam tubuh seseorang adalah di atas 95 persen. Penurunan kadar oksigen di kondisi ini tidak membuat orang kesulitan bernapas ataupun tidak merasa terengah-engah.

Dia menjelaskan hypoxia terjadi akibat adanya penjedalan di saluran pembuluh darah. Hal tersebut dikarenakan peradangan atau inflamasi pada pembuluh-pembuluh darah, terutama di paru-paru akibat kadar oksigen yang terus berkurang dalam tubuh.

Kepala Divisi Pulmonologi dan Penyakit Kritis RSUP Dr Sardjito ini menyampaikan jika happy hypoxia tidak segera ditangani akan mengancam nyawa pasien COVID-19. Penjendalan tidak hanya akan terjadi di paru-paru, tetapi bisa ke organ-organ lainnya seperti ginjal dan otak yang bisa menyebabkan kematian.

Keberadaan happy hypoxia, kata Sumardi, bisa diketahui pada pasien Corona yang mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pemantauan kadar oksigen dalam darah biasanya dilakukan dengan menggunakan alat pulse oximeter.

Lalu bagaimana pada pasien COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala, terutama yang melakukan isolasi mandiri di rumah?

Dia mengimbau pasien Corona tanpa gejala yang melakukan isolasi mandiri untuk selalu memonitor kondisi tubuh. Pasien diminta waspada apabila muncul gejala tubuh tiba-tiba lemas padahal tidak melakukan aktivitas yang mengakibatkan pengurangan energi maupun berolahraga.

"Kalau tiba-tiba merasakan lemas, tetapi makan dan minum masih biasa harus segera lapor ke rumah sakit. Lemas ini karena oksigen di organ berkurang jadi harus cepat ke rumah sakit agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat," tegasnya.

Warga DKI-Jatim Merasa Kebal Corona, Kenapa Ada yang Remehkan Pandemi?

Ketua Satgas Penanganan COVID-19, Doni Monardo, mengatakan masih ada sebagian warga di Indonesia yang menganggap dirinya aman dari ancaman virus Corona COVID-19. Survei melihat warga di provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur jadi yang paling banyak merasa kebal Corona.
"Data beberapa bulan lalu terhadap lima provinsi adalah masih adanya masyarakat menganggap dirinya itu tidak mungkin kena COVID, yang tertinggi ternyata adalah di DKI Jakarta, yang kedua di Jawa Timur," kata Doni dalam rapat di Komisi VIII DPR, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/9/2020).

Menurut Doni ada sekitar 30 persen warga DKI yang merasa tidak berisiko tertular COVID-19, disusul 29,20 persen warga di Jawa Timur, 18,30 persen warga di jawa tengah, 16,70 persen warga di Jawa Barat, dan 14,90 persen warga di Kalimantan Selatan.

Dengan kondisi pandemi yang sudah berjalan lebih dari setengah tahun, sebagian orang bertanya kenapa masih ada yang tak percaya ancaman bahayanya.

Kepala Laboratorium Departemen Ilmu Sosiologi Universitas Sumatera Utara (USU), Muba Simanihuruk, berkomentar kemungkinan ini karena masifnya hoax dan teori konspirasi di media sosial. Informasi keliru yang berulang-ulang disampaikan atau dibagikan lama-lama akhirnya dianggap menjadi kebenaran.

"Ini era post-truth politics. Kebohongan yang diulang-ulang masif lewat hoax dan teori konspirasi diyakini sebagian masyarakat sebagai kebenaran. Mastermind di belakang ini tentu lebih jauh lagi. Agar dokter dan pemerintah kurang, bahkan tidak dipercayai lagi. Implikasinya korban Corona meningkat dan kepercayaan pada pemerintah ambruk. Skenario terburuknya kerusuhan sosial dan pembangkangan sosial," tutur Muba.

Sementara itu ahli ilmu sosial dari Universitas Indonesia, Dr Roby Muhaman, menyebut sebagian orang mungkin juga tidak percaya karena belum melihat atau mengalami sendiri. Orang-orang cenderung lebih percaya diri pada apa yang mereka yakini.

"Bukan mereka tidak melihat datanya, mereka melihat data itu muncul dan ada ketidakpercayaan," ujar Dr Roby beberapa waktu lalu.
https://cinemamovie28.com/leslie-jones-time-machine/

Komentar

Postingan Populer