Kasus Corona dari Klaster Keluarga Bermunculan, Inikah Penyebabnya?

Penyebaran virus Corona di antara keluarga atau klaster keluarga menjadi kekhawatiran baru di tengah pandemi virus Corona COVID-19. Beberapa wilayah seperti di Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Semarang, dan Malang mulai melaporkan kasus transmisi Corona antar anggota keluarga.
Dijelaskan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), dr Erlang Samoedro SpP(K), klaster keluarga terjadi ketika salah satu anggota keluarga terinfeksi lalu menularkan ke keluarga lainnya. Biasanya orang pertama yang tertular mendapat virus Corona dari luar rumah, misalnya orang tua yang bekerja atau bepergian kemudian akhirnya tertular dan membawa penyakit tersebut ke dalam rumah.

"Bisa juga dari anak-anak yang main di sekitar lingkungan dan datang membawa virus dan menulari yang lain," tutur dr Erlang dalam konferensi pers di Youtube BNPB, Senin (7/9/2020).

Kemunculan klaster keluarga cukup banyak dan signifikan. dr Erlang menyampaikan klaster keluarga meningkat karena masyarakat mulai dibebaskan beraktivitas di luar rumah. Kadang-kadang seseorang tidak sadar terinfeksi Corona. Pun jika terinfeksi, kebanyakan tidak mengembangkan gejala serius sehingga mereka tak sadar membawanya ke dalam keluarga.

"Klaster keluarga bahaya karena di rumah itu kan ada anak kecil, orang tua, yang potensi untuk terjadi sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi. Kelompok rentan rata-rata ada di keluarga," jelasnya.

dr Erlang menyampaikan saat ini kapasitas rumah sakit sudah mulai penuh. Bertambahnya klaster keluarga tentu akan menimbulkan lonjakan kasus yang cukup signifikan.

Laris Manis di Pasar Pramuka, Efektifkah Oximeter Mendeteksi Happy Hypoxia?

Pulse oximeter heboh menjadi perbincangan di media sosial. Pasalnya, alat ini disebut-sebut bisa mendeteksi gejala happy hypoxia pada pasien COVID-19.
Gejala happy hypoxia sendiri adalah kekurangan kadar oksigen di dalam darah tanpa disadari pasien. Pasien COVID-19 yang mengalami gejala ini tidak mengeluhkan gejala sesak napas dan kondisi bisa tiba-tiba berakibat fatal, bahkan hingga kematian.

Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, dr Adria Rusli, SpP(K), menyebut pulse oximeter bisa menjadi alat deteksi dini pada pasien COVID-19 yang mengalami happy hypoxia. Bagaimana caranya?

"Normal itu kan kadar oksigen kita 92 sampai 98 persen, semakin tua semakin rendah dia kadar oksigennya. Nah biasanya di bawah angka itu orang udah sesak napas, gelisah, berdebar-debar, pokoknya mirip orang sesak napas lah," kata dr Adria saat dihubungi detikcom Senin (7/9/2020).

"Tapi pada orang happy hypoxemia walaupun dia kadar oksigennya rendah, tidak ada gejala sesak napas. Nah, yang pake pulse oximeter itu (bisa dilihat misalnya) di bawah 90, (tapi) orang kelihatan nggak sesak, itu mungkin yang harus kita perhatikan hati-hati bisa jadi happy hypoxemia," lanjutnya.

dr Adria menjelaskan, seseorang disarankan mengecek kondisi happy hypoxia harus dipastikan dulu apakah ia positif COVID-19 atau tidak. Jika seseorang dinyatakan positif COVID-19, maka hal ini baik untuk mendeteksi dini.

"Tetapi harus ada COVID-19 nya dulu, sekarang kan banyak yang isolasi mandiri itu di rumah kan, itu bisa dipakai tuh, bagus untuk deteksi dininya bagus," jelas dr Adria.
https://cinemamovie28.com/the-untamed-fatal-journey/

Komentar

Postingan Populer