Meski Gunakan APD, Tenaga Medis Tiga Kali Lebih Berisiko Terinfeksi Corona

Bagi para petugas medis yang berjuang melawan COVID-19, alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan, baju hazmat, face shield, dan masker N95 jadi atribut yang sangat penting. Ini berguna agar mereka tidak terkontaminasi virus saat merawat para pasien yang terinfeksi virus Corona.
Namun, sebuah penelitian menunjukkan atribut tersebut ternyata belum cukup untuk melindungi mereka dari virus. Para petugas medis ini masih lebih berisiko tertular virus dibandingkan masyarakat umum lainnya.

"Sekitar 20 persen petugas atau tenaga medis yang berada di garis depan setidaknya mengalami satu gejala yang terkait dengan virus Corona COVID-19 ini, dibandingkan 14,4 persen masyarakat umum. (Gejalanya) Kelelahan, kehilangan bau atau rasa, dan suara serak sering terjadi," tulis para peneliti, dikutip dari CNN.

Para peneliti ini menggunakan aplikasi COVID Symptom Tracker, yang berfungsi untuk mempelajari data lebih dari 2 juta orang. Itu termasuk para petugas medis di garda depan COVID-19 di Amerika Serikat dan Inggris yang jumlahnya hampir 100.000 orang, antara 24 Maret dan 23 April.

Dari penelitian itu, didapatkan bahwa para petugas medis yang berada di garis depan bisa 3 kali lebih mungkin terinfeksi COVID-19. Meskipun perlengkapan perlindungan diri sudah dipakai dengan baik.

"Data itu dengan jelas mengungkapkan bahwa masih ada peningkatan risiko terinfeksi virus Corona, meskipun para petugas medis itu telah menggunakan perlengkapan APD dengan lengkap," kata profesor King's College London sekaligus penulis studi, Sebastian Ourselin.

Ourselin juga menemukan saat sebagian petugas medis melaporkan kekurangan APD, mereka terpaksa harus menggunakan kembali perlengkapan yang sudah pernah digunakan sebelumnya.

Bahkan studi sebelumnya pun menemukan bahwa 10 sampai 20 persen infeksi virus Corona terjadi pada petugas medis yang berjuang melawan virus itu di garis depan.

"Studi kami memberikan penilaian yang lebih tepat tentang besarnya peningkatan risiko infeksi di kalangan petugas medis dibandingkan dengan masyarakat umum," ujar Dr Andrew Chang, direktur epidemiologi kanker di Rumah Sakit Umum Massachusetts.

Chang menambahkan saat studi itu dilakukan, penyedia layanan medis di Amerika Serikat tengah mengalami kekurangan perlengkapan APD, seperti sarung tangan, baju hazmat, dan masker. Tetapi, mungkin dari penelitian yang serupa saat ini bisa mendapatkan hasil berbeda.

Vaksin Corona Hampir Rampung, Siapa yang Berhak Divaksinasi Lebih Awal?

Saat ini sudah banyak perusahaan farmasi yang melakukan uji klinis vaksin COVID-19 di berbagai negara. Percepatan produksi vaksin Corona dilakukan sebagai salah satu upaya mengakhiri pandemi COVID-19.
Namun tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan soal siapa yang pertama kali berhak divaksinasi lebih awal apabila produksi vaksin Corona telah rampung. Hal ini mencuat di Amerika Serikat setelah otoritas kesehatan AS menargetkan setidaknya bulan depan warganya sudah mendapat rancangan pedoman vaksinasi COVID-19.

Direktur National Institutes of Health, Dr Francis Collins, mengatakan akan banyak pihak yang merasa paling berhak mendapatkan vaksin lebih awal.

"Tidak semua orang akan menyukai jawabannya. Akan ada banyak pihak yang merasa bahwa mereka seharusnya berada di urutan teratas," kata Dr Collins dikutip dari AP News.

Secara umum, kelompok pertama yang harus diberikan vaksin adalah petugas keseharan dan mereka yang rentan terinfeksi penyakit. Namun Dr Collins memiliki gagasan baru yakni memprioritaskan orang yang secara geografis berada di wilayah yang penyebaran virusnya tinggi.

Kelompok lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah sukarelawan vaksin yang tidak mendapatkan vaksin asli saat melakukan uji klinis.

"Kita berhutang pada mereka. Mereka ibarat prioritas khusus," tuturnya.

Beberapa perusahaan yang telah melakukan uji klinis vaksin memang melibatkan banyak sekali relawan. Di AS, tiga vaksin yang dikembangkan perusahaan Moderna dan Pfizer masing-masing melibatkan 30 ribu relawan.

Penentuan ini adalah dilema global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga tengah menghadapi kesulitan untuk memprioritaskan siapa yang harus mendapat vaksin pertama kali. Keputusan kian sulit saat negara-negara kaya dunia sudah mulai 'memborong' vaksin.

Center for Disease Control and Prevention (CDC) sendiri menyarankan untuk memberikan dosis pertama vaksin COVID-19 kepada 12 juta penduduk dengan kondisi kesehatan paling kritis, tenaga keamanan nasional, dan pekerja penting lainnya.

Selanjutnya, 110 juta dosis diberikan kepada orang dengan risiko terpapar COVID-19 paling tinggi, termasuk penduduk berusia di atas 65 tahun yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Atau orang-orang dengan kondisi kesehatan buruk. Populasi lainnya bisa dilakukan setelah itu.
https://cinemamovie28.com/the-babadook/

Komentar

Postingan Populer