Sudah Ada Vaksinnya, Kok Wabah Ebola Bisa Muncul Lagi?

 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan wabah Ebola baru di Republik Kongo. Setidaknya ada enam kasus yang terdeteksi di kota di kota Mbandaka dengan empat di antaranya meninggal dunia.

Menteri Kesehatan Republik Kongo, Eteni Longondo, mengatakan pihaknya sudah bergerak dengan mengirimkan bantuan vaksin dan obat-obatan.

"Kami menghadapi epidemi Ebola baru di Mbandaka. Kami akan bertindak cepat mengirimkan vaksin dan obat-obatan," kata Eteni seperti dikutip dari Reuters, Selasa (2/6/2020).

Terkait hal tersebut, beberapa netizen penasaran mengapa virus yang sudah ada vaksinnya ini bisa kembali muncul?

Di halaman resmi WHO, vaksin Ebola bernama rVSV-ZEBOV sebetulnya sudah disarankan oleh para ahli untuk menangani wabah. Vaksin ini berisi virus vesicular stomatitis (VSV) yang sudah dimodifikasi sehingga berisi kode protein yang bisa menstimulasi respons imun terhadap Ebola.

Hanya saja WHO menyebut vaksin ini tidak bisa digunakan untuk imunisasi massal karena belum mendapat izin edar. Alasannya masih perlu penelitian lebih lanjut meski studi sudah awal menunjukkan vaksin tidak berbahaya dan bisa melindungi seseorang dari Ebola.

Vaksin baru bisa diberikan dalam skenario tertentu, seperti sedang ada wabah, dan hanya pada kelompok berisiko.

"Vaksin ini meski tidak mendapat izin komersil, sudah digunakan dalam 'perluasan akses' atau 'penggunaan terbatas' pada wabah Ebola di Kivu Utara. Vaksin ini juga digunakan pada wabah Ebola di Equateur bulan Mei-Juli 2018," tulis WHO.

Tanpa ada imunisasi massal maka Ebola masih berpotensi muncul dan menyebar di populasi yang tak memiliki imunitas terhadapnya.

Bertambah Lagi, Dokter RI Meninggal dalam Status PDP Corona

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) kembali sampaikan kabar duka. Dokter spesialis penyakit dalam, dr Ignatius Stanislaus Tjahjadi, SpPD, yang berpraktik di RS Adi Husada Undaan, Surabaya, meninggal dunia di usia 64 tahun.

Anggota bagian humas PB IDI, dr Halik Malik, membenarkan kabar tersebut. dr Halik menyampaikan bahwa dr Tjahjadi meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP).

"Berita duka telah meninggal dr IS Tjahjadi, SpPD pada minggu (31/5) pukul 22.45 WIB, di ICU RS Adi Husada Undaan Wetan Surabaya," kata dr Halik melalui pesan singkat kepada detikcom, Selasa (2/6/2020).

"Kabarnya dirawat sebagai pasien dalam pengawasan COVID-19, namun beliau wafat sebelum hasil pemeriksaan swabnya keluar," lanjutnya.

Kabar duka ini menunjukkan sudah 30 dokter di Indonesia yang meninggal dunia terkait virus Corona.

"Sejauh ini ada 30 dokter," pungkas dr Halik.

Viral Hoax Corona Disebut karena Bakteri, Bisa Sembuh Pakai Antibiotik

 Di media sosial beredar pesan yang menyebut Corona adalah penyakit karena bakteri dan bisa disembuhkan dengan obat antibiotik. Disebutkan juga hal ini diketahui berkat para dokter di Italia melakukan autopsi pada korban, melawan larangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berikut contoh kutipan pesan yang beradar di Facebook:

"Dokter Italia, tidak mematuhi hukum kesehatan dunia WHO, untuk tidak melakukan otopsi pada kematian Coronavirus dan mereka menemukan bahwa BUKANLAH VIRUS, tetapi BAKTERI lah yang menyebabkan kematian. Ini menyebabkan gumpalan darah terbentuk dan menyebabkan kematian pasien.

Italia mengalahkan apa yang disebut Covid-19, yang tidak lain adalah "Koagulasi intravaskular diseminata" (Trombosis)*

Dan cara untuk memeranginya, yaitu, penyembuhannya, adalah dengan "antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan..."

Faktanya hingga saat ini pemerintah Italia tidak pernah menyebut Corona disebabkan bakteri. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Italia dengan tegas menjelaskan COVID-19 disebabkan oleh virus bernama SARS-CoV-2.

"Virus Corona baru ini datang dari keluarga virus severe acute respiratory syndrome (SARS), namun bukan virus yang sama," kata Kemenkes Italia di situs resminya.

WHO juga tidak pernah mengeluarkan larangan autopsi jenazah pasien COVID-19. WHO pada 24 Maret 2020 bahkan telah mengeluarkan pedoman bagaimana mengelola jenazah pasien COVID-19 yang aman untuk tenaga kesehatan.

"Bila ada jenazah yang diduga atau dikonfirmasi meninggal karena COVID-19 harus diautopsi, fasilitas kesehatan wajib memastikan sudah ada upaya keamanan untuk menjaga personil yang melakukan autopsi," tulis WHO.

Sementara klaim antibiotik dapat dipakai untuk menyembuhkan COVID-19 dikategorikan WHO sebagai informasi palsu. Beberapa pasien mungkin memang ada yang diberikan antibiotik untuk mengobati ancaman infeksi dari penyebab lain.
http://nonton08.com/maggies-plan/

Komentar

Postingan Populer