Kisah Penghukuman Berdasarkan Gender dari China

Kota Qufu di Shandong, China adalah tempat asal Konfusius dan ajaran Konghucu. Banyak cerita unik di sana, misalnya hukuman berdasarkan gender. Seperti apa ya?

Cerita menarik datang dari keturunan Konfusius. Punya kesetaran layaknya kerajaan, keturunan Konfusius akan menerapkan hukuman berdasarkan gender.

Konfusius dan keturunannya memiliki nama keluarga Kong. Mereka mendiami rumah yang disebut Confusius Mansion, di Kota Qufu, Shandong, China detikTravel menemukan banyak cerita menarik di balik rumah ini.

Keluarga Konfusius mendapatkan urutan kasta tertinggi, karena Konfusius dianggap sebagai dewa. Keluarga dan keturunan Konfusius dipercaya menempati urutan pertama dalam surga. Oleh sebab itu, tidak semua orang bisa masuk ke dalam rumah tersebut.

"Barangsiapa tidak masuk dalam 4 urutan keluarga tertinggi (keluarga kerajaan) maka tidak boleh masuk ke mansion ini," ujar Dennis, pemandu dari China International Travel Service.

Keluarga Konfusius diberi kuasa layaknya kerajaan. Otomatis membuat Master of Mansion atau kepala rumah tangga jadi pemerintah tertinggi di keluarga dan Kota Qufu. Untuk itu, Master of Mansion juga berlaku sebagai penegak keadilan.

"Siapa pun dari keluarga Kong yang kedapatan bersalah akan dihukum," jelas Dennis.

Pemberian hukuman ini dibagi menjadi berdasarkan gender. Jika laki-laki maka akan dipukul dengan tongkat. Jumlah pukulan tergantung dari seberapa besar kesalahan yang dibuat.

Kalau perempuan beda lagi. Cara menghukumnya tidak dengan fisik tapi menyiksa.

"Kalau perempuan yang membuat pelanggaran, maka akan dijemur di atas sebuah papan," kata Dennis.

Mungkin ini terdengan sepele. Tapi rupanya, sangat menyakitkan. Perempuan yang melakukan kesalahan akan disuruh bersimpuh di atas sebuah papan kayu dengan luas 2x2,5 meter.

Papan kayu ini dibuat bergelombang tajam. Berlutut 5 menit saja, bisa membuat dengkul dan tulang kering panas. Apalagi saat musim panas tiba, sang pelanggar akan semakin tersiksa dengan matahari yang menyengat.

"Perempuan akan disuruh berlutut selama 2 jam. Tapi kalau semakin banyak kesalahannya, maka waktunya juga semakin lama" tutur Dennis.

Wisatawan bisa mencoba untuk berlutut di papan ini. Tapi tidak diperbolehkan untuk menginjak papan. Traveler harus langsung duduk dalam keadaan berlutut.

"Tiap anggota keluarga yang melanggar atau membuat kesalahan, artinya membuat kesalahan di mata pemerintahan. Karena keluarga ini diberi wewenang layaknya kerajaan," tutup Dennis. 

Disbudpar Aceh Siapkan 100 Event Wisata untuk 2019

 Provinsi Aceh makin serius mengembangkan pariwisata untuk menarik kunjungan wisatawan. Sepanjang 2019, ada 100 event yang disiapkan, baik bertaraf nasional maupun internasional.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin, mengatakan, meski Calender of Event (CoE) 2019 belum diluncurkan, tapi Disbudpar Aceh sudah menyusun sebanyak 74 event di seluruh Aceh. Angka itu akan terus bertambah karena saat ini pemerintah kabupaten/kota diminta juga membuat agenda promosi wisata.

"Yang sudah ada 74 event itu sudah ada yang di kabupaten/kota juga. Kita minta juga kabupaten bikin lagi biar ada 100 event," kata Jamaluddin kepada wartawan, Kamis (7/2/2019).

Berbagai event wisata yang disiapkan meliputi wisata budaya, alam, dan buatan manusia. Event yang dibikin tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Rencong seperti Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Singkil, Simeulue dan lainnya.

Untuk Banda Aceh, Sabang dan Aceh Besar difokuskan ke wisata religi, sejarah, kuliner serta bahari. Sedangkan wilayah tengah Aceh di antaranya Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues terdapat beragam wisata alam dan budaya. Di daerah kaki pegunungan Leuser itu terkenal dengan atraksi budayanya seperti Tari Saman.

Komentar

Postingan Populer