Eksotisme Maluku Utara dan Halmahera, Tidak Ada Duanya (6)
Oleh karena itu saya putuskan untuk mencoret Gamkonora. Pilihan saya tersisa dua gunung (Kie Besi atau Dukono). Saya putuskan mencoret Kie Besi karena minimnya dukungan spot indah di Pulau Makian. Akhirnya Gunung Dukono yang menjadi pilihan untuk kami jelajahi esok hari.
Sebenarnya aktivitas vulkanik Gunung Dukono pun sangat tinggi dan suara gemuruh kawahnya bahkan bisa kita dengar dalam radius 2km menjelang puncak. Tapi karena morfologi Gunung Dukono yang terbuka kepundannya dan pelepasan energinya lebih konstan, maka saya putuskan untuk menuju ke sana (meski harus dilakukan dengan resiko pribadi).
Selasa 4 Juni (day 5) #semuaadatiketnya.
Selasa pagi tim ekspedisi Dukono dimodifikasi menjadi dua tim. Satu tim Ternate dan satu tim Halmahera. Total jumlah tim adalah delapan orang (saya, pak dadi, mba yanti, mba nasti, mba eci, abied, faiz, andi, eno). Perjalanan dimulai dengan menyeberang ke pelabuhan Sofifi dengan mencarter speedboat (krn kapal fery nya tidak berangkat pada hari itu).
Tiba di pelabuhan Sofifi menjelang tengah hari dan disambut oleh dua mobil penjemput. Dua mobil inilah yang akan mengantar kami menuju camp pendakian Gunung Dukono. Perjalanan sepanjang 127km dari Sofifi ke Tobelo adalah salah satu perjalanan yang paling mengesankan selama ekspedisi berlangsung. Jalan mulus dengan banyak tikungan tajam + kontur naik turun gunung di tengah hutan dan perkebunan kelapa dilibas oleh2 supir lokal dengan mulus.
Di GPS yang saya bawa rombongan kami mencatat top speed 139km/jam pada jalanan antara Sofifi-Tobelo. Sebuah perjalanan yang menyenangkan sekaligus cukup beresiko, tapi karena supir lokal sangat piawai, saya pun tidak terlalu khawatir.
Tiba di daerah Kao, kami beristirahat di rumah makan di desa Tahane. Rumah makan ini saya kira milik orang Bugis, karena saya sempat mendengar dialek mereka. Rumah makannya cukup bersih dan luas. Ini rumah makan yang paling ramai dikunjungi oleh orang yang bepergian dari Tobelo menuju Sofifi, Sidangoli ataupun Jailolo.
Konsepnya seperti perasmanan, tetapi harganya flat. Menu apapun yang dipilih, harganya adalah 25 ribu per orang. Memang terasa mahal, tapi karena tidak mudah menemukan rumah makan di Halmahera, saya kira wajar jika harganya dipatok segitu. Perjalanan pun dilanjutkan menuju kota Tobelo.
Sepuluh kilometer sebelum masuk kota Tobelo, kami berhenti di rumah inyo yang juga sering digunakan sebagai basecamp rekan Tobelo. Selesai droping logistik dan makan siang, kami berangkat ke kota Tobelo untuk regroup dengan mba eci dan mba nasti yang juga akan bergabung dengan tim Dukono.
Di dalam kota tobelo kami pun mampir kembali ke rumah makan Saung Tobelo untuk kembali menikmati wisata kuliner all u can eat. Restoran dengan gaya khas Jawabaratan ini cukup bersih, rapih dengan menu yang cukup mengundang rasa lapar.
Sebenarnya kami belum lama makan di rumah inyo, tetapi godaan all u can eat di saung tobelo menjadikan perut kami harus sedikit di modif karena overload makanan enak khas Tobelo. Saya pun langsung bertanya menu spesial RM ini ke pelayannya. si pelayan dengan percaya diri menawarkan menu Bebek Tinoransa sebagai menu spesial dan saya pun memesannya.
Saya langsung terbayang lemak yang berlebih, tekstur daging yang tipis dibalut tulang bebek yang lebih keras dari tulang ayam. saya sekilas teringat menu nasu palekko yang juga adalah menu olahan bebek yang beberapa tahun lalu sempat saya cicipi di salah satu RM di kota Enrekang, Sulawesi Selatan.
Komentar
Posting Komentar